Kamis, 29 November 2012

Cerpen Dimuat di Tabloid GAUL "Ice cream Boy"

Ice Cream Boy...
Oleh: Leona Augustine
Le Monde Cafe. Selena sudah nggak asing lagi dengan nama kafe itu. Selalu dilewatinya kalau sedang hang out bareng teman sekolahnya. Letaknya di kawasan pusat hiburan, berjajar dengan kafe-kafe  lain yang menjamur disekitarnya. Nggak tahu kenapa Selena selalu tertarik ingin masuk kesitu. Tapi tak pernah kesampaian. Ada saja alasan teman-temannya menolak untuk masuk kesana. Mahal lah! Terlau sepi lah...!Bukan tempat anak muda lah...! Hhhh...Pengen masuk sendiri tapi tengsin plus grogi. Padahal satu yang dari dulu menarik perhatiannya...display es krimnya sungguh menggoda! Sebagai penggemar es krim, nggak heran kalau Selena ngiler benerrrr...Sementara ia hanya bisa puas meliriknya dari balik kaca etalase.Uhh....
Kali ini mungkin saatnya Selena harus menuntaskan rasa penasarannya untuk mencicipi es krim di kafe yang elegan itu. Hujan sudah reda, tapi rintik-rintik gerimis masih tersisa di langit Bandung. Bodo amat, apa kata orang. Biar cuaca sedang dingin tapi tekadnya sudah bulat.
“Selamat datang, silahkan dilihat menunya...Anda bi...”belum sempat waiter bertubuh jangkung itu selesai menawarkan menu, Selena langsung menyambar.
“Saya pesan es krim-es krim yang terlezat disini...”
“Ehhh...semua?? Bagaimana kalau Cheesy Blueberry Ice Cream with Hazelnut Topping dan Choco  Nutty Kiss Ice Cream?Patut dicoba!”si waiter memberi opsi.
“Ok...”jawab Selena pasrah.
Just a minute, Miss...”ucap pelayan berlalu sambil melempar senyum hangat. Hey, lumayan juga, pikir Selena.
Suasana kafe itu ternyata lebih nyaman daripada apa yang tampak dari luar. Lampu- lampu yang temaram cukup menciptakan suasana rileks. Musik yang diputar jenis jazz dan musik pengiring dansa. Lembut menghanyutkan. Selena terpekur membayangkan seandainya Josh yang sedang studi di Singapura ada bersamanya. Ah tapi sudah tidak mungkin. It’s over! Selena tidak akan pernah memaklumi long distance relationship. Pasti akan ada penghianatan. Itu sudah harga mati!
Cheesy Blueberry Ice Cream with Hazelnut Topping dan Choco  Nutty Kiss Ice Cream...sudah siap...”pelayan datang membawa pesanan Selena.
“Terima kasih...” ucap Selena. Pelayan itu mengangguk dan berlalu.
Selena sudah tidak sabar menyendokkan es krim yang tampak padat dan nikmat itu ke mulutnya. Saat sendokan pertama masuk ke mulutnya matanya beradu dengan sepasang mata yang duduk berjarak dua meja darinya. Selena sedikit kaget, pasalnya dari tadi yang ia tahu hanya ada enam pengunjung di kafe itu. Sepasang kekasih yang menempati kursi di sudut kanan. Juga tiga orang lelaki muda yang tampaknya sedang melepas penat sepulang bekerja. Sisanya hanya Selena seorang. Bagaimana ia bisa tidak menyadari kehadiran cowok yang duduk di seberangnya? Selena merutuki dirinya sendiri karena kebiasaan melamunnya akhir-akhir ini makin parah saja. Sekilas cowok itu menyunggingkan senyum. Dada Selena berdesir.
“Memang kamu sanggup menghabiskan es krim ini sendirian?”cowok itu tiba-tiba mendatangi meja Selena dan duduk di kursi di sampingnya. Lancang sekali, pikir Selena.
“Ya...tentu saja”jawab Selena datar.
“Haha...”cowok itu tertawa lirih. Seolah tertawa untuk dirinya sendiri.
“Kenapa?? Kamu ngetawain aku aku? Ada yang salah?”sungut Selena.
“Nggak ada yang salah...wahai nona yang sedang patah hati...haha”
“Dasar sok tau...kamu mabuk ya?”Selena membanting sendoknya dengan kesal.
“Jangan marah...aku cuma menebak. Tapi sepertinya benar ya...?”
“Peduli apa kamu? Itu kan bukan urusan kamu...!”
“Ya itu menjadi urusanku ketika ada cewek duduk sendirian menikmati es krim di udara dingin seperti ini...Cerita saja, jangan lama bersedih-sedih...”cowok itu menatap kedua mata Selena. Selena menangkap sorot mata yang dingin namun entah kenapa ia seperti terhipnotis untuk terus mendengarkan kata-kata cowok itu.
“Hmm...aku cuma pengen mencicipi es krim disini, sudah lama banget aku pengen kesini...tapi nggak ada satupun yang mau nemenin...Ini nggak ada hubungannya dengan patah hati!”jawab Selena tajam.
Well, es krim disini memang istimewa, dibuat dari susu sapi berkualitas, kabarnya coklat dan buah- buahannya masih diimpor dari Eropa...”jelas cowok itu.
“Kau tahu banyak, pelanggan lama ya?”
“Ya, dulu aku sering membawa pacarku kesini...Dia suka sekali memesan Choco Nutty Kiss Ice Cream seperti yang kamu pesan itu...”
“Dimana dia sekarang? Kenapa tidak kau ajak dia?tanya Selena.
“Ah, sudah nggak mungkin lagi...nggak  mungkin...”Cowok itu tersenyum getir.
“Aku ngerti kok...” Mungkin mereka sudah putus, pikir Selena. 
“Kenapa kamu suka es krim?”tanya cowok itu.
“Menurutku es krim sudah menjadi bagian dari diriku...Sedih ataupun senang saat menikmati es krim semuanya jadi terasa lebih baik...”jawab Selena dengan senyum mengembang.
“Es krim juga bisa menyampaikan perasaan kita ke orang yang kita sayangi...didalamnya ada rasa manis seperti butiran cinta, ada dingin seperti kerinduan saat tak bersamanya dan juga kelembutan seperti perasaan kita saat ada di sisinya...”cowok itu menambahi dengan nada  serius.
“Wow, ternyata kamu memiliki pandangan yang unik tentang es krim. Lalu apa perasaanmu ketika es krimmu meleleh...sebelum kau sempat menikmatinya..?”tanya Selena hati-hati agar maksud pertanyaannya tak diketahui cowok itu.
“Nikmati saja eskrimmu, padat ataupun telah leleh mencair...bukankah hidup juga seperti itu? Tak selalu sesempurna yang kita bayangkan...” Kata-kata  cowok itu seperti menghujam dada Selena. Ia rasa cowok itu tahu bahwa pertanyaan itu merujuk ke masalahnya dengan Josh. Selena merasa malu.
“Kau hanya perlu sedikit perjuangan untuk melindunginya sementara agar tetap padat, sebelum kau bisa menikmatinya dengan gembira...Aku harus pergi sekarang.”Cowok itu berdiri dan bergegas ke pintu keluar. Ia menoleh ke belakang sejenak sebelum menghilang di balik pintu.
Selena jadi teringat Josh. Kata-kata cowok itu ada benarnya juga. Hubungannya dengan Josh harus  diperbaiki segera. Masih ada kesempatan dan harapan. Selena segera ingin pulang dan menelepon Josh. Segera ia memanggil pelayan untuk meminta bill.
“Apa Mbak baik-baik saja? Apa perlu saya hubungi keluarga atau teman Mbak?”kata pelayan dengan nada khawatir setelah Selena selesai membayar bill-nya.
“Memang kenapa?”tanya Selena heran.
“Sebelum pulang tadi, pengunjung yang duduk di pojok kanan bilang ke saya kalau Mbak bicara panjang lebar sendirian bahkan tertawa-tawa...Lalu saya perhatikan dari jauh memang benar. Mungkin Mbak sedang lelah. Jadi saya bisa menghubungi keluarga Mbak untuk menjemput kesini...?”jawab si pelayan. Selena bengong.
“Saya tadi kan bicara dengan seorang cowok ...Apa Mas nggak lihat tadi? Katanya dia sering kesini kok...”bela Selena dengan terbata-bata.
Pelayan itu semakin bingung. Lalu seorang koki tua yang sedari tadi memperhatikan percakapan Selena dengan pelayan itu keluar dari meja counter. Menunduk ia menghampiri meja Selena.
“Jangan takut...namanya Thomas, dua tahun lalu meninggal tertabrak mobil di seberang jalan itu...sesaat setelah menikmati es krim disini dengan pacarnya...”ujar si Koki tua.
Darah Selena membeku. Tiba-tiba pandangannya gelap seketika...
####End###
   Dimuat di annida-online.com Maret 2011





Selasa, 27 November 2012

Cerpen Dimuat di annida-online.com_Titik Penghabisan

-->
TITIK PENGHABISAN
Oleh: Leona Augustine
Kukayuh sepeda biruku- itupun bila kau mau sedikit menyenangkan hatiku demi menyebut sebentuk sepeda yang sudah tidak kentara warna cat pabrikannya itu. Suaranya berkeriut-keriut serupa irama dendangan cacing-cacing lapar di perutku. Matahari mengganas menjilat bumi dengan lidah api. Tidaklah menjadi soal, kulit tembagaku sudah kebal menghadapinya.  Pun debu-debu yang mengepul digilas roda-roda kendaraan raksasa.
Sudah delapan kilometer kutempuh. Itu artinya setengah perjalanan lagi masih menanti. Aku sedikit bisa mengurangi kepenatan saat mulai memasuki jalanan yang dinaungi pohon-pohon angsana dan trembesi. Angin dari sela-sela batang padi yang hampir menguning mempermainkan seragam putihku yang kebesaran. Disinilah aku biasa bersua dengan kawan-kawanku semasa SMP dulu. Kini mereka pun bersekolah di kota sepertiku, menyebar di pelbagai sekolah swasta. Aku cukup beruntung hanya dengan mengandalkan otakku-satu-satunya hal berharga yang kumiliki-aku bisa masuk sekolah negeri di kota kabupaten itu. Mereka akan menyapaku. Membunyikan klakson-klakson motor mereka dengan riang. Pulang beriring-iringan dengan kawan yang bermotor juga. Tidak ada yang bersepeda sepertiku memang.
Dan jalanan ini. Jalan panjang yang kutempuh sepanjang hari, paling tidak enam hari dalam seminggu, duapuluh lima hari dalam sebulan, tidak kunjung berubah jua dari masa ke masa. Entah jalan apa kau akan menyebutnya bila kau melihatnya. Setengah aspal. Atau setengah tanah. Atau jalan bobrok, barangkali. Bahkan aku telah hafal betul letak lubang- lubangnya yang menganga walau dengan mata tertutup sekalipun. Kalau beruntung, dalam jangka waktu tertentu ada perbaikan kecil-kecilan. Yang dimaksud dengan perbaikan adalah  menutup lubang-lubang itu dengan batu cadas dan sejumput pasir. Bodoh! Tentu saja akan segera terbilas hujan dengan sia-sia saat musim penghujan mulai menerjang.
Aku kadang tak habis pikir kemana larinya uang-uang trilyunan di masa Orde baru itu. Yang sempat diagung-agungkan sebagai masa pembangunan. Diyakinkan dengan adanya program Pelita yang bersekuel itu. Walaupun toh pada akhirnya hanya menjadi bahan hujatan karena meninggalkan hutang berkepanjangan bagi Indonesia. Aku masih dalam ayunan memang saat itu, belum mafhum benar dengan apa yang terjadi. Tapi saat mataku mulai bisa meresapi semesta, nyatanya “masa keemasan” itupun hanya menyisakan lambang-lambang partai usang yang terpaku di rumah-rumah limas di kampungku. Sekolah reot pinggir sawah. Jalan tanah. Lantai tanah. Dan setelah presiden negeri ini telah berkali-kali berganti rupa, tiada sedikitpun titik terang menimpa desaku. Piuhh...
Reputasi kota kecilku inipun amatlah miris. Suatu masa, saat aku mengikuti seleksi Paskibra tingkat provinsi, banyak diantara teman-teman dari berbagai kabupaten maupun kotamadya yang berkerut keningnya saat kusebut daerah asalku.
“Dimana ya itu, Guh? aku pernah dengar sih...”kata salah seorang.
“Aku pernah lihat nama kotamu itu di plang penunjuk arah...” sahut teman yang lainnya.
“Hahh, malah kupikir itu letaknya di propinsi lain...”timpal yang lain tertawa bodoh sambil menggaruk-garuk kepala. Yang lain hanya ikut menertawakan. Berani taruhan, merekapun pasti tidak lebih paham dari yang menjawab barusan.
Celetukan polos seorang dari mereka membuat parasku kian merah padam, “Oh, yang jalannya jelek itu ya??”
Aku tersenyum masam, dengan berat kuucap “Ya...” Mau bagaimana lagi, sebatas itu yang mereka tahu. Dan memang begitulah adanya.
***
Memasuki jalanan kampungku angin semakin akrab membelai. Di tikungan depan, sebelah pasar ada keramaian. Pasar tentu sudah bubar. Pastilah ada kerusuhan. Mungkin pelaku curanmor sedang dihakimi massa. Mungkin pencuri pisang ibu-anak kembali beraksi. Atau ada pembunuhan? Kukayuh sepedaku makin gegas. Kucapai kerumunan untuk menahui apa yang terjadi.
“Dasar tua bangka...belum puas apa bertahun-tahun makan uang rakyat, sekarang malah mematikan tempat kita cari makan...” seorang Ibu-ibu yang mengenakan singlet berkoar. Bocahnya yang menangis di ujung kakinya tak dihiraukan.
 “Kalau saja pasar modern itu memang benar akan dilaksanakan, tentu kita juga akan ikhlas untuk berjualan di tempat baru. Tapi uangnya pastilah sudah ia tilap dengan cecurut-cecurutnya...”
“Sekarang satu-satunya tempat kita mengorek rejeki diamuknya tanpa sisa!!! Lelaki hitam itu membanting rokok kreteknya ke jalan, dan memadamkannya dengan kaki telanjang.
“Ya benar, kita ini sudah berbaik hati mendiamkan ulahnya! Coba pikir...kemana larinya uang sumbangan untuk pembangunan SD 1 itu? Dari SD itu masih kokoh, hingga sekarang ambruk...tak ada tanda-tanda ia akan memperbaikinya...Tak kasihan dia melihat anak-anak bersekolah di kandang sapi Mbah Jomo?!!”sahut laki-laki yang masih mengenakan seragam dan bersepatu pantofel. Aku tidak mengenalinya, mungkin ia guru  SD baru dari kota.
“Apa maunya bangkotan itu? Apa kita bunuh saja di beramai-ramai!!!”Lelaki hitam yang terlihat paling garang itu makin mengganas.
“Tenanglah dulu...salah-salah kita malah dipenjara, atau dihabisi antek-anteknya...”Mas Kusmin mencoba menengahi. Ya, kebetulan orang terakhir itu aku mengenalnya. Dia tetanggaku, seringkali kulihat dia mengisi bak air di surau samping rumah. Tiap harinya dia mengais rupiah di pasar, berjualan tempe. Tapi dia tidak menyadari kehadiranku. Kerumunan itu terlalu padat.
Dari pembicaraan yang kudengar itu aku mulai faham arah pembicaraan mereka. Kios-kios kecil yang letaknya berseberangan dengan kawasan pasar utama itu telah diluluhlantakkan. Siapa lagi kalau bukan cecunguk-cecunguk suruhan si tua bangka Patmo. Memang kios-kios itu bukanlah bagian dari pasar utama. Bercokolan di dekat pasar kambing. Lurah – lurah sebelum Patmo tidak pernah mengusik ketentraman itu. Dan kini, Patmo, Lurah tak bernurani itu mengklaimnya sebagai kios ilegal yang berdiri di atas tanah milik desa. Padahal menurut desas-desus ia akan membangun tempat penggilingan padi pribadinya disitu. Hah, keterlaluan! Bukankah seharusnya program pembangunan pasar modern yang lebih luas itu ia laksanakan, sehingga tidak ada pedagang yang harus berjualan hingga di luar seperti itu. Dasar tikus kampung!
Aku tersentak. Aku teringat Bapakku belum lama membangun kios tembok di kawasan yang dibumihanguskan itu. Baru sebulan ia berdagang. Kemarin dulu beliau sudah meminta izin pembangunannya di perangkat desa. Setelah sekian lama menabung untuk mewujudkan keinginannya memiliki kios kelontong itu. Kuarahkan sepedaku menuju kawasan itu. Aku berbalik arah. Tidak mungkin menerobos lautan manusia ini.
***
Pemandangan yang kulihat setelahnya lebih mengerikan daripada apa yang kupikir. Sebelum aku sampai betul di depan kios Bapak sepedaku kuhempaskan. Bangunan mungil itu telah rubuh dan luruh terbakar. Tembok-temboknya yang belum halus sempurna telah menjadi kepingan-kepingan tak berarti. Bau gosong disekitarku masih menusuk hidung. Rasa sakitku sampai ke ulu hati. Kepalaku berdenyut. Tak bisa kubayangkan sedihnya hati Bapak. Uang yang telah dikumpulkan beliau untuk mendirikan kios ini tentu tidak sedikit. Sedianya dengan adanya kios ini aku digadang-gadang tahun depan bisa masuk ke perguruan tinggi. Ah, tentu pupus sudah harapan manis itu.
Kutinggalkan kawasan itu dengan lemas. Aku ingin segera bertemu Bapak. Bagaimana rupanya? Seberapa sedih beliau? Bagaimana perasaan Ibu? Adikku? Baru kali ini kubiarkan keteguhanku lenyap. Aku menangis sejadi-jadinya...
***
Kudapati Bapak mencangkung di pintu. Tatapannya kosong ke arah matahari terbenam. Wajahnya sendu menyayat. Aku ingin sekali mengambur ke pangkuannya. Tapi pundakku seperti kejatuhan besi beton. Berat rasanya.
“Pa..aak...”ucapku lirih saat melewatinya. Suaraku seperti tersangkut di kerongkongan. Ia hanya menengok sekilas.
“Oalah, Ngger...! Guh..Teguh...”Ibuku bergelung di amben, beruarai tangis. Ia mencoba bangkit saat melihatku.
“Bu, kenapa semua harus terjadi...salah kita apa, Bu? Aku menangis di dekapannya.
“Memang tidak punya welas asih dia itu. Tidak bosan menindas wong cilik. Sementara uang rakyat dia kunyah tanpa ampun...huhuhuhuhu”Ibuku meraung dan meracau.
Aku tak melihat Bapakku menyahut sedikitpun. Aku kecewa. Harusnya Bapak marah. Semestinya Bapak mengamuk dan menghentikan kesemena-menaan Lurah rakus itu. Dia kalah atau mengalah? Dia diam atau mendendam? Aku geram.
***
Malam sudah usang. Di kamar aku masih terjaga. Kutunggu sampai Bapak masuk ke biliknya. Senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Aku mulai bersiap. Tekadku sudah bulat. Harus ada harga yang harus dibayar dibalik semua perbuatan. Akupun menyadari betul apa yang akan kulakukan malam ini.
Bulan berkelit di balik cakrawala. Kelam. Semakin memudahkan langkahku untuk merayap ke tempat tujuanku. Kugenggam senter kecil di tangan kiri, tangan kanan menggenggam belati.
Rumah itu gelap betul. Lampu-lampunya telah dimatikan. Namun aku masih dapat mendengar si empunya sedang bercakap-cakap di telepon. Aku merapatkan tubuhku ke tembok. Haha, dugaanku tidak meleset. Ia memang selalu tiduran di bangku taman samping rumahnya setiap malam. Dalam kegelapan. Ia mematikan ponselnya. Tangannya terlipat di dada...matanya mulai dipejamkan. Aku berjingkat ke arahnya. Hey, tunggu! Aku melihat beberapa pasang mata mengawasi targetku. Tiga sosok lelaki berpenutup kepala mengintai di balik rimbun pisang. Mungkinkah itu para bodyguard Patmo? Ah, tamat sudah riwayatku! Salah seorang dari mereka memberi kode padaku. Kalau mataku tak salah mencerna, itu Mas Kusmin. Ya, Mas Kusmin, tak salah lagi. Dua lelaki lainnya adalah orang yang berkoar gahar di pasar siang tadi. Apa yang mereka lakukan disini? Adakah mereka memiliki niat yang sama denganku? Aku bergerak mendekati mereka dengan perasaan yang tak karuan.
“Patmo!!! Satu...dua...tiga...”lelaki hitam itu menyiramkan sekaleng bensin ke wajah, tubuh, dan kaki Patmo sesuai dengan hitungannya.
“Hei siapa kamu?!!”Patmo kaget dan ketakutan bukan kepalang.
“Aku rakyat yang sekarat...yang tiada bisa bermimpi lagi. Akan kuhabisi kau dihitungan ke-empat dan lima sesuai namamu...”Seorang lagi menyalakan korek api di depan mata Patmo. Patmo membungkuk memegang dadanya, dan hampir roboh ke tanah. Serangan jantung barangkali. Aku sudah tak peduli. Aku gemetaran menyaksikannya. Bahkan aku urung melakukan pembalasan pada Patmo dengan tanganku sendiri. Pisau belati yang kugenggam  jatuh bergeletar ke tanah.
Papat...Lima...”orang itu mengakhiri hitungannya dengan melempar api itu ke wajah Patmo. Patmo, papat-lima, atau empat-lima. Ya, dia terbakar disaat hitungan empat dan lima. Sesuai dengan namanya. Api menjalar secepat kilat. Merambat ke seluruh permukaan tubuhnya. Kudengar ia memekik dan terkulai pingsan. Dan api itu semakin merajalela menjamah tubuhnya. 
“Itu untuk api yang kau lemparkan ke kios-kios kami...”ujar si lelaki hitam. Mereka bertiga tersenyum puas dan sempat menepuk pundakku. Mas Kusmin memberi kode untuk segera meninggalkan tempat prahara itu. Aku berjalan pulang. Entah apa yang terjadi mereka telah menyampaikan pada Patmo rasanya dibakar, rasanya diinjak-injak dan dipupuskannya mimpi dan harapan kita dengan paksa.
Mereka memang bukan pahlawan yang sedang menumpas kejahatan. Mereka penjahat?! Tak mengapa kau menyebutnya demikian. Tapi mereka telah rela untuk membunuh orang yang telah begitu tega membunuh mimpi dan harapan semua orang itu. Mungkinkah ada yang melihat ulah kami tadi? Ah, tapi aku rela bila besok pagi aku akan mati digebuki. Atau dicincang ramai-ramai oleh cecurut-cecurut Patmo. Atau polisi akan menyeretku dari lelap tidurku. Apalah artinya itu semua kalau kau sudah tak bisa berharap dan bermimpi lagi? Aku sudah tak peduli. Sungguh-sungguh  tak peduli.### 
Dimuat di annida-online.com _30 May 2011
Picture source: http://www.sxc.hu/photo/1091652

Puisi Pendek "Elegy"

  Elegy
Oleh: Leona Augustine

Merindui gemintang mengerjap di cakrawala matamu
Menggigit renyah tawamu
terdesak terengah,
menyesap hangatmu dalam kalbu...
Yogyakarta, 2011